Kalau diartikan langsung “Dalihan Natolu” adalah “Dalihan” artinya
sebuah tungku yang dibuat dari batu, sedangkan “Dalihan Natolu” ialah
tungku tempat memasak yang diletakkan diatas dari tiga batu. Ketiga
dalihan yang dibuat berfungsi sebagai tempat tungku tempat memasak
diatasnya. Dalihan yang dibuat haruslah sama besar dan diletakkan atau
ditanam ditanah serta jaraknya seimbang satu sama lain serta tingginya
sama agar dalihan yang diletakkan tidak miring dan menyebabkan isinya
dapat tumpah atau terbuang.
Dulunya, kebiasaan ini oleh masyarakat Batak khususnya Batak Toba memasak di atas tiga tumpukan batu, dengan bahan bakar kayu. Tiga tungku jika diterjemahkan langsung dalam bahasa Batak Toba
disebut juga dalihan natolu. Namun sebutan dalihan natolu paopat
sihalsihal adalah falsafah yang dimaknakan sebagai kebersamaan yang
cukup adil dalam kehidupan masyarakat Batak.
Sehari-hari alat tungku merupakan bagian peralatan rumah yang paling
vital untuk memasak. Makanan yang dimasak baik makanan dan minuman untuk
memenuhi kebutuhan hidup anggota keluarga. Biasanya memasak di atas
dalihan natolu terkadang tidak rata karena batu penyangga yang tidak
sejajar. Agar sejajar maka digunakanlah benda lain untuk mengganjal.
Dalam bahasa sehari-harinya kebanyakan orang Batak Toba tambahan benda untuk mengganjal disebut Sihal-sihal.
Contoh umpasa Batak Toba yang menggunakan kata
Dalihan Natolu : “Ompunta naparjolo martungkot sialagundi. Adat
napinungka ni naparjolo sipaihut-ihut on ni na parpudi. Umpasa itu
sangat relevan dengan falsafah dalihan natolu paopat sihal-sihal sebagai
sumber hukum adat Batak.”
Apakah yang disebut dengan dalihan natolu paopat sihal-sihal itu?
dari umpasa di atas, dapat disebutkan bahwa dalihan natolu itu diuraikan
sebagai berikut :
Somba marhula-hula, manat mardongan tubu, elek marboru. Angka na so
somba marhula-hula siraraonma gadongna, molo so Manat mardongan tubu,
natajom ma adopanna, jala molo so elek marboru, andurabionma tarusanna.
Berikut penjabaran singkat tentang makna filsafah Dalihan Natolu dalam kehidupan Batak Toba serta contoh penerapan bersosial dalam adat Batak Toba.
1. Somba marhula-hula
Hula-hula dalam adat Batak adalah keluarga laki-laki dari pihak istri
atau ibu, yang lazim disebut tunggane oleh suami dan tulang oleh anak.
Dalam adat Batak yang paternalistik, yang melakukan peminangan adalah
pihak lelaki, sehingga apabila perempuan sering datang ke rumah
laki-laki yang bukan saudaranya, disebut bagot tumandangi sige.
(artinya, dalam budaya Batak tuak merupakan minuman khas. Tuak diambil
dari pohon Bagot (enau). Sumber tuak di pohon Bagot berada pada mayang
muda yang di agat. Untuk sampai di mayang diperlukan tangga bambu yang
disebut Sige. Sige dibawa oleh orang yang mau mengambil tuak (maragat).
Itulah sebabnya, Bagot tidak bisa bergerak, yang datang adalah sige.
Sehingga, perempuan yang mendatangi rumah laki-laki dianggap menyalahi
adat.
Pihak perempuan pantas dihormati, karena mau memberikan putrinya
sebagai istri yang memberi keturunan kepada satu-satu marga.
Penghormatan itu tidak hanya diberikan pada tingkat ibu, tetapi sampai
kepada tingkat ompung dan seterusnya.
Hula-hula dalam adat Batak akan lebih kelihatan dalam upacara
Saurmatua (meninggal setelah semua anak berkeluarga dan mempunyai cucu).
Biasanya akan dipanggil satu-persatu, antara lain : Bonaniari,
Bonatulang, Tulangrorobot, Tulang, Tunggane, dengan sebutan hula-hula.
Disebutkan, Naso somba marhula-hula, siraraon ma gadong na. Gadong
dalam masyarakat Batak dianggap salah satu makanan pokok pengganti nasi,
khususnya sebagai sarapan pagi atau bekal/makan selingan waktu kerja
(tugo).
Siraraon adalah kondisi ubi jalar (gadong) yang rasanya hambar.
Seakan-akan busuk dan isi nya berair. Pernyataan itu mengandung makna,
pihak yang tidak menghormati hula-hula akan menemui kesulitan mencari
nafkah.
Dalam adat Batak, pihak borulah yang menghormati hula-hula. Di dalam
satu wilayah yang dikuasai hula-hula, tanah adat selalu dikuasai oleh
hula-hula. Sehingga boru yang tinggal di kampung hula-hulanya akan
kesulitan mencari nafkah apabila tidak menghormati hula-hulanya.
Misalnya, tanah adat tidak akan diberikan untuk diolah boru yang tidak
menghormati hula-hula (baca elek marboru).
2. Manat Mardongan Tubu.
Dongan tubu dalam adat Batak adalah kelompok masyarakat dalam satu
rumpun marga. Rumpun marga suku Batak mencapai ratusan marga induk.
Silsilah marga-marga Batak hanya diisi oleh satu marga. Namun dalam
perkembangannya, marga bisa memecah diri menurut peringkat yang dianggap
perlu, walaupun dalam kegiatan adat menyatukan diri. Misalnya: Si Raja
Guru Mangaloksa menjadi Hutabarat, Hutagalung, Panggabean, dan
Hutatoruan (Tobing dan Hutapea). Atau Toga Sihombing yakni Lumbantoruan,
Silaban, Nababan dan Hutasoit.
Dongan Tubu dalam adat batak selalu dimulai dari tingkat pelaksanaan
adat bagi tuan rumah atau yang disebut Suhut. Kalau marga A mempunyai
upacara adat, yang menjadi pelaksana dalam adat adalah seluruh marga A
yang kalau ditarik silsilah ke bawah, belum saling kimpoi.
Gambaran dongan tubu adalah sosok abang dan adik. Secara psikologis
dalam kehidupan sehari-hari hubungan antara abang dan adik sangat erat.
Namun satu saat hubungan itu akan renggang, bahkan dapat menimbulkan
perkelahian. seperti umpama “Angka naso manat mardongan tubu, na tajom
ma adopanna’. Ungkapan itu mengingatkan, na mardongan tubu (yang
semarga) potensil pada suatu pertikaian. Pertikaian yang sering berakhir
dengan adu fisik.
Dalam adat Batak, ada istilah panombol atau parhata yang menetapkan
perwakilan suhut (tuan rumah) dalam adat yang dilaksanakan. Itulah
sebabnya, untuk merencanakan suatu adat (pesta kimpoi atau kematian)
namardongan tubu selalu membicarakannya terlebih dahulu. Hal itu berguna
untuk menghindarkan kesalahan-kesalahan dalam pelaksanaan adat.
Umumnya, Panombol atau parhata diambil setingkat di bawah dan/atau
setingkat di atas marga yang bersangkutan.
3. Elek Marboru
Boru ialah kelompok orang dari saudara perempuan kita, dan pihak marga
suaminya atau keluarga perempuan dari marga kita. Dalam kehidupan
sehari-hari sering kita dengar istilah elek marboru yang artinya agar
saling mengasihi supaya mendapat berkat(pasu-pasu). Istilah boru dalam
adat batak tidak memandang status, jabatan, kekayaan oleh sebab itu
mungkin saja seorang pejabat harus sibuk dalam suatu pesta adat batak
karena posisinya saat itu sebagai boru.
Pada hakikatnya setiap laki-laki dalam adat batak mempunyai 3 status
yang berbeda pada tempat atau adat yg diselenggarakan misalnya: waktu
anak dari saudara perempuannya menikah maka posisinya sebagai Hula-hula,
dan sebaliknya jika marga dari istrinya mengadakan pesta adat, maka
posisinya sebagai boru dan sebagai dongan tubu saat teman semarganya
melakukan pesta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar